FAREWELL WS RENDRA, POET, PLAYWRIGHT AND FATHER OF INDONESIAN THEATER

WS RENDRA

August 07, 2009
Bramantyo Prijosusilo
Obituary: Farewell WS Rendra, Poet, Playwright and Father of Indonesian Theater

Poet, writer, dramatist, cultural activist and theater director, WS Rendra, died on Thursday night, approaching the age of 74, after battling heart and kidney problems for around a month. Indonesia has lost one of its most talented artists. Rendra rose to fame as a poet in the 1950’s and remained the most influential poet in the country until his death. He is also credited as the man who brought modern Indonesian theater to its maturity through his experimental works with Bengkel Teater (Theater Workshop), which he founded in 1968. Before Rendra and his Bengkel Teater, modern Indonesian theater was simply a copy of that in the West, but Rendra brought traditional expressions into a modern context.Born to a Roman Catholic family and baptized as Willibrordus Surendra Broto, he changed his name to Wahyu Sulaiman Rendra when he embraced Islam in 1970 on his second marriage to Sitoresmi Prabunigrat from the Yogyakarta palace. Rendra leaves behind eleven children from three marriages.During the repressive New Order era, Rendra was one of the few creative people in this country who had the courage to express dissent. When the novelist Pramoedya Ananta Toer was returned from Indonesia’s gulag — the prison island of Buru — he said Rendra was “one man who has the courage to resist the power of Suharto, under his own name. If you cannot respect that, you should learn to.” Rendra’s plays and poetry during the Suharto era were very critical of the ideology of development and his performances as a poet or with Bengkel Teater were often banned. “I learned meditation and disciplines of the traditional Javanese poet from my mother who was a palace dancer. The idea of the Javanese poet is to be a guardian of the spirit of the nation,” Rendra once said. Because of his poetry readings and his sexy performances on the stage, he was dubbed “the Peacock” by the press.In 1979, during a poetry reading critical of development in the Ismail Marzuki art center in Jakarta, Suharto’s military intelligence agents threw ammonia bombs on to the stage and arrested him. He was imprisoned in the notorious Guntur military prison for nine months, spending time in solitary confinement in a cell with a ceiling too low to stand up and only mosquitoes for company. When he was released, without ever having being charged, his body was covered with sores from mosquito bites. His experience in Guntur prison inspired him to write the short poem: “Thunder beats and hammers/ Life is forged on stone/ Harsh thunder is my teacher / The sun always shines” and also the ballad “Paman Doblang” (“Uncle Doblang”), which was later set to music by the rock band Kantata Takwa. The ballad tells the story of Uncle Doblang, who is sent to a dark cell for voicing his conscience, and ends with the lines: “Conscience is the sun/ patience is the earth/ courage forms horizons/ and struggle is the implementation of words.” After he was released from prison he was banned from performing poetry or drama until 1986, when he wrote, directed and starred in his eight hour long play “Panembahan Reso,” which discussed the issue of the succession of power that was a taboo at that time. Before the performance at the Senayan sports center, he told his cast of 40-something actors: “Pack your toiletries, because there is a chance that we might get arrested.” The play took six months to prepare and was performed for two nights. “Modern Indonesian theater has no infrastructure. We must create it ourselves,” he used to tell his performers. Rendra studied at the American Academy of Dramatic Arts, the same school as Marlon Brando, but when he graduated, he chose to return to Indonesia and in 1968 founded Bengkel Teater in Yogyakarta. The group quickly fascinated audiences with works that were artistically experimental and politically critical. In 1969 he created a series of dramas without any dialog where actors employed their bodies and simple sounds such as bip bop, zzzzz and rambate rate rata. The journalist poet Goenawan Mohamad dubbed these experimental performances as “mini-word theatre.” During the 1970’s, his plays such as “Mastodon and the Condors” and “The Struggle of the Naga Tribe” and “The Regional Secretary” were often banned because they openly criticized Suharto’s development programs that often alienated indigenous people and tended to side with multinational corporations. Rendra was also a great admirer of Shakespeare and Bertolt Brecht, and he translated and performed Hamlet and Macbeth. A keen student of the traditional Indonesian martial art pencak silat, Rendra always looked a lot younger than his age and he played Hamlet when he was well into his sixties. He translated and performed Brecht’s “Caucasian Chalk Circle,” as well as Sophocles’ Oedipus trilogy. In the process of embracing Islam, he translated and directed the traditional Islamic poems telling of the life of the prophet Muhammad, in his play comprising drums and poetry, “Qasidah Barjanzi.” His works have been translated into many languages and performed all over the world.Rendra, who was born in Solo on Nov. 7, 1935, will be missed by creative communities all over Indonesia. He was a dedicated mentor who was always willing to help younger artists. He will be remembered for many things, especially by members of his Bengkel Teater. For them, he was a dear friend, a teacher and a father figure. Bramantyo Prijosusilo is an artist, poet and organic farmer in Ngawi, East Java. He was a student of WS Rendra at Bengkel Teater.
PENYAIR TERKEMUKA INDONESIA WS RENDRA MENINGGAL DUNIA
Budayawan dan penyair terkemuka Indonesia W.S Rendra, yang juga mempunyai banyak peminat di Malaysia, meninggal dunia di sebuah hospital di sini malam tadi setelah lebih sebulan dirawat kerana penyakit jantung.

Media massa tempatan melaporkan Rendra, 74, yang juga dikenali “Si Burung Merak” meninggal dunia pada 10.15 malam tadi, dan meninggalkan 11 orang anak daripada tiga orang isteri, yang mana dua daripadanya sudah diceraikan.

Setelah memeluk Islam pada Ogos 1970 ketika menikahi isteri keduanya, Sitoresmi Prabuningrat, beliau menukar namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra daripada nama asalnya Willibrodus Surendra Broto Renda.

Selain sajak-sajaknya, Rendra juga dikenali ramai di Malaysia melalui filem bertema agama yang dilakoninya “Al Kautsar” pada tahun 1980-an.

Jenazah Allahyarham dijadual dikebumikan selepas solat Jumaat di Bengkel Teater, Citayam, Depok dekat sini, tidak jauh dari kubur sahabatnya, Mbah Surip, penyanyi reggae yang mendadak popular di Indonesia dengan lagu “Tak Gendong”, yang meninggal dunia Selasa lepas.

Rendra beberapa kali memperoleh anugerah dalam bidang sastera, antaranya Penghargaan Adam Malik pada 1989, SEA Write Award pada 1996 dan Penghargaan Achmad Bakri pada 2006.

— BERNAMA, JAKARTA 7 Ogos
2 komen WS Rendra Tagged: , Pautan Kekal Dikirim oleh Haniey
Sajak Gadis Dan Majikan – WS RendraOgos 7, 2009

Sajak Gadis Dan Majikan – WS Rendra

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.
Aku bukan ahli ilmu menduga,tetapi jelas sudah kutahupelukan ini apa artinya…..Siallah pendidikan yang aku terima.Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,kerapian, dan tatacara,Tetapi lupa diajarkan :bila dipeluk majikan dari belakang,lalu sikapku bagaimana !

Janganlah tuan seenaknya memelukku.Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,Ketika tuan siku teteku,sudah kutahu apa artinya……
Mereka ajarkan aku membenci dosatetapi lupa mereka ajarkanbagaimana mencari kerja.Mereka ajarkan aku gaya hidupyang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.Diajarkan aku membutuhkanperalatan yang dihasilkan majikan,dan dikuasai para majikan.Alat-alat rias, mesin pendingin,vitamin sintetis, tonikum,segala macam soda, dan ijazah sekolah.Pendidikan membuatku terikatpada pasar mereka, pada modal mereka.
Dan kini, setelah aku dewasa.Kemana lagi aku ‘kan lari,bila tidak ke dunia majikan ?
Jangnlah tuan seenaknya memelukku.Aku bukan cendekiawantetapi aku cukup tahusemua kerja di mejakuakan ke sana arahnya.Jangan tuan, jangan !Jangan seenaknya memelukku.Ah, Wah .Uang yang tuan selipkan ke behakuadalah ijazah pendidikankuAh, Ya.Begitulah.Dengan yakin tuan memelukku.Perut tuan yang buncitmenekan perutku.Mulut tuan yang burukmencium mulutku.Sebagai suatu kewajaransemuanya tuan lakukan.Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.Mereka pegang kedua kakiku.Mereka tarik pahaku mengangkang.Sementara tuan naik ke atas tubuhku.

NYANYIAN ANGSA
karya W.S Rendra
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:“Sudah dua minggu kamu berbaring.Sakitmu makin menjadi.Kamu tak lagi hasilkan uang.Malahan kapadaku kamu berhutang.Ini beaya melulu.Aku tak kuat lagi.Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus.Wajahnya tegas dan dengkidengan pedang yang menyalamenuding kepadaku.Maka darahku terus beku.Maria Zaitun namaku.Pelacur yang sengsara.Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari.Matahari terik di tengah langit.Tak ada angin. Tak mega.Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.Tanpa koper.Tak ada lagi miliknya.Teman-temannya membuang muka.Sempoyongan ia berjalan.Badannya demam.Sipilis membakar tubuhnya.Penuh borok di klangkangdi leher, di ketiak, dan di susunya.Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.Sakit jantungnya kambuh pula.Ia pergi kepada dokter.Banyak pasien lebih dulu menunggu.Ia duduk di antara mereka.Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.Ia meledak marahtapi buru-buru jururawat menariknya.Ia diberi giliran lebih duludan tak ada orang memprotesnya.“Maria Zaitun,utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.“Ya,” jawabnya.“Sekarang uangmu brapa?”“Tak ada.”Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.Ia kesakitan waktu membuka bajusebab bajunya lekat di borok ketiaknya.“Cukup,” kata dokter.Dan ia tak jadi mriksa.Lalu ia berbisik kepada jururawat:“Kasih ia injeksi vitamin C.”Dengan kaget jururawat berbisik kembali:“Vitamin C?Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”“Untuk apa?Ia tak bisa bayar.Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.Kenapa mesti dikasih obat mahalyang diimport dari luar negri?”
(Malaikat penjaga Firdaus.Wajahnya iri dan dengkidengan pedang yang menyalamenuding kepadaku.Aku gemetar ketakutan.Hilang rasa. Hilang pikirku.Maria Zaitun namaku.Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang.Matahari masih dipuncak.Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.Dan aspal jalan yang jelek mutunyalumer di bawah kakinya.Ia berjalan menuju gereja.Pintu gereja telah dikunci.Karna kuatir akan pencuri.Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.Koster ke luar dan berkata:“Kamu mau apa?Pastor sedang makan siang.Dan ini bukan jam bicara.”“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.Lalu berkata:“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”Lalu koster pergi menutup pintu.Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.Setelah mengorek sisa makanan dari giginyaia nyalakan crutu, lalu bertanya:“Kamu perlu apa?”Bau anggur dari mulutnya.Selopnya dari kulit buaya.Maria Zaitun menjawabnya:“Mau mengaku dosa.”“Tapi ini bukan jam bicara.Ini waktu saya untuk berdo’a.”“Saya mau mati.”“Kamu sakit?”“Ya. Saya kena rajasinga.”Mendengar ini pastor mundur dua tindak.Mukanya mungkret.Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”“Saya pelacur. Ya.”“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”“Ya.”“Santo Petrus!”Tiga detik tanpa suara.Matahari terus menyala.Lalu pastor kembali bersuara:“Kamu telah tergoda dosa.”“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”“Kamu telah terbujuk setan.”“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.Dan gagal mencari kerja.”“Santo Petrus!”“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.Yang nyata hidup saya sudah gagal.Jiwa saya kalut.Dan saya mau mati.Sekarang saya takut sekali.Saya perlu Tuhan atau apa sajauntuk menemani saya.”Dan muka pastor menjadi merah padam.Ia menuding Maria Zaitun.“Kamu galak seperti macan betina.Barangkali kamu akan gila.Tapi tak akan mati.Kamu tak perlu pastor.Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdauswajahnya sombong dan dengkidengan pedang yang menyalamenuding kepadaku.Aku lesu tak berdaya.Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.Maria Zaitun namaku.Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.Matahari terus menyala.Dan angin tetap tak ada.Maria Zaitun bersijingkatdi atas jalan yang terbakar.Tiba-tiba ketika nyebrang jalania kepleset kotoran anjing.Ia tak jatuhtapi darah keluar dari borok di klangkangnyadan meleleh ke kakinya.Seperti sapi tengah melahirkania berjalan sambil mengangkang.Di dekat pasar ia berhenti.Pandangnya berkunang-kunang.Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.Orang-orang pergi menghindar.Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.Kemudian ia bungkus hati-hatidengan daun pisang.Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdauswajahnya dingin dan dengkidengan pedang yang menyalamenuding kepadaku.Yang Mulya, dengarkanlah aku.Maria Zaitun namaku.Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)
Jam empat siang.Seperti siput ia berjalan.Bungkusan sisa makanan masih di tanganbelum lagi dimakan.Keringatnya bercucuran.Rambutnya jadi tipis.Mukanya kurus dan hijauseperti jeruk yang kering.Lalu jam lima.Ia sampai di luar kota.Jalan tak lagi beraspaltapi debu melulu.Ia memandang mataharidan pelan berkata: “Bedebah.”Sesudah berjalan satu kilo lagiia tinggalkan jalan rayadan berbelok masuk sawahberjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdauswajahnya tampan dan dengkidengan pedang yang menyalamengusirku pergi.Dan dengan rasa jijikia tusukkan pedangnya perkasadi antara kelangkangku.Dengarkan, Yang Mulya.Maria Zaitun namaku.Pelacur yang kalah.Pelacur terhina).
Jam enam sore.Maria Zaitun sampai ke kali.Angin bertiup.Matahari turun.Haripun senja.Dengan lega ia rebah di pinggir kali.Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.Lalu ia makan pelan-pelan.Baru sedikit ia berhenti.Badannya masih lemastapi nafsu makannya tak ada lagi.Lalu ia minum air kali.
(Malaekat penjaga firdaustak kau rasakah bahwa senja telah tibaangin turun dari gunungdan hari merebahkan badannya?Malaekat penjaga firdausdengan tegas mengusirku.Bagai patung ia berdiri.Dan pedangnya menyala.)
Jam tujuh. Dan malam tiba.Serangga bersuiran.Air kali terantuk batu-batu.Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenangdan mengkilat di bawah sinar bulan.Maria Zaitun tak takut lagi.Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.Mandi di kali dengan ibunya.Memanjat pohonan.Dan memancing ikan dengan pacarnya.Ia tak lagi merasa sepi.Dan takutnya pergi.Ia merasa bertemu sobat lama.Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.Ia jadi berduka.Dan mengadu pada sobatnyasembari menangis tersedu-sedu.Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaekat penjaga firdauswajahnya dingin dan dengki.Ia tak mau mendengar jawabku.Ia tak mau melihat mataku.Sia-sia mencoba bicara padanya.Dengan angkuh ia berdiri.Dan pedangnya menyala.)
Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.Borok. Sipilis. Perempuan.Bagai kacakali memantul cahaya gemilang.Rumput ilalang berkilatan.Bulan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.Lelaki itu menyeberang kali.Ia tegap dan elok wajahnya.Rambutnya ikal dan matanya lebar.Maria Zaitun berdebar hatinya.Ia seperti pernah kenal lelaki itu.Entah di mana.Yang terang tidak di ranjang.Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.Sedang sementara ia keherananlelaki itu membungkuk mencium mulutnya.Ia merasa seperti minum air kelapa.Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.Lalu lelaki itu membuka kutangnya.Ia tak berdaya dan memang suka.Ia menyerah.Dengan mata terpejamia merasa berlayarke samudra yang belum pernah dikenalnya.Dan setelah selesaiia berkata kasmaran:“Semula kusangka hanya impianbahwa hal ini bisa kualami.Semula tak berani kuharapkanbahwa lelaki tampan seperti kaubakal lewat dalam hidupku.”Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.“Mempelai,” jawabnya.“Lihatlah. Engkau melucu.”Dan sambil berkata begituMaria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.Tiba-tiba ia terhenti.Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.Di lambung kiri.Di dua tapak tangan.Di dua tapak kaki.Maria Zaitun pelan berkata:“Aku tahu siapa kamu.”Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaekat penjaga firdauswajahnya jahat dan dengkidengan pedang yang menyalatak bisa apa-apa.Dengan kaku ia beku.Tak berani lagi menuding padaku.Aku tak takut lagi.Sepi dan duka telah sirna.Sambil menari kumasuki taman firdausdan kumakan apel sepuasku.Maria Zaitun namaku.Pelacur dan pengantin adalah saya.)

Sajak Burung-Burung Kondor – WS Rendra

Angin gunung turun merembes ke hutan,lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.Kemudian hatinya pilumelihat jejak-jejak sedih para petani – buruhyang terpacak di atas tanah gemburnamun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani – buruh bekerja,berumah di gubug-gubug tanpa jendela,menanam bibit di tanah yang subur,memanen hasil yang berlimpah dan makmurnamun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanahyang mempunyai istana indah.Keringat mereka menjadi emasyang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,dan menjawab dengan mengirim kondom.
Penderitaan mengalirdari parit-parit wajah rakyatku.Dari pagi sampai sore,rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,menggapai-gapai,menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,di dalam usaha tak menentu.Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,berjuta-juta burung kondor,bergerak menuju ke gunung tinggi,dan disana mendapat hiburan dari sepi.Karena hanya sepimampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.Di dalam marah menjerit,bergema di tempat-tempat yang sepi.
Burung-burung kondor menjeritdi batu-batu gunung menjeritbergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,mematuki batu-batu, mematuki udara,dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
WS Rendra

Paman Doblang – WS RendraJulai 30, 2009
Paman Doblang! Paman Doblang!Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap.Ada hawa. Tak ada angkasa.Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata.Terkunci. Tak tahu di mana berada.
Paman Doblang! Paman Doblang!Apa katamu?
Ketika haus aku minum dari kaleng karatan.Sambil bersila aku mengharungi waktulepas dari jam, hari dan bulanAku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuktidak berupa, tidak bernama.Aku istirah di sini.Tenaga ghaib memupuk jiwaku.
Paman Doblang! Paman Doblang!Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala.Kamu terkurung dalam lingkaran.Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana.Kaki kamu dirantai ke batang karang.Kamu dikutuk dan disalahkan.Tanpa pengadilan.
Paman Doblang! Paman Doblang!Bubur di piring timahdidorong dengan kaki ke depanmuPaman Doblang, apa katamu?
Kesedaran adalah matahari.Kesabaran adalah bumi.Keberanian menjadi cakerawala.Dan perjuanganadalah perlaksanaan kata-kata.Sajak Rendra (Depok, 22 April 1984)

Sajak Nyanyian Suto Untuk Fatima – WS Rendra
Dua puluh tiga mataharibangkit dari pundakmu.Tubuhmu menguapkan bau tanahdan menyalalah sukmaku.Langit bagai kain tetiron yang biruterbentangberkilat dan berkilauanmenantang jendela kalbu yang berdukacita.Rohku dan rohmubagaikan proton dan elektronbergolakbergolakDi bawah dua puluh tiga matahari.Dua puluh tiga mataharimembakar dukacitaku.Nyanyian Fatima untuk Suto
Kelambu ranjangku tersingkapdi bantal berenda tergolek nasibku.Apabila firmanmu terucapmasuklah kalbuku ke dalam kalbumu.
Sedu-sedan mengetuk tingkapkudari bumi di bawah rumpun mawar.Waktu lahir kau telanjang dan tak tahutapi hidup bukanlah tawar-menawar.~WS Rendra

Sajak Makna Sebuah Titipan ~ WS Rendra
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,bahwa :
sesungguhnya ini hanya titipan,bahwa mobilku hanya titipan Allahbahwa rumahku hanya titipan Nya,bahwa hartaku hanya titipan Nya,bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,mengapa Dia menitipkan padaku?Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?Dan kalau bukan milikku,apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itudiminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali,kusebut itu sebagai musibahkusebut itu sebagai ujian,kusebut itu sebagai petaka,kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskanbahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa,kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,aku ingin lebih banyak harta,ingin lebih banyak mobil,lebih banyak popularitas,dan kutolak sakit,kutolak kemiskinan,seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan sepertimatematika:aku rajin beribadah,maka selayaknyalah derita menjauh dariku,dan nikmat dunia kerap menghampiriku.Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,dan bukan kekasih.Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”~ WS Rendra

Tuhan yang Maha Esa,alangkah tegangnyamelihat hidup yang tergadai,fikiran yang dipabrikkan,dan masyarakat yang diternakkan.
Malam rebah dalam udara yang kotor.Di manakah harapan akan dikaitkanbila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?Dendam diasah di kolong yang basahsiap untuk terseret dalam gelombang edan.Perkelahian dalam hidup sehari-haritelah menjadi kewajaran.Pepatah dan petitihtak akan menyelesaikan masalahbagi hidup yang bosan,terpenjara, tanpa jendela.
Tuhan yang Maha Faham,alangkah tak masuk akaljarak selangkahyang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,yang memisahkansebuah halaman bertaman tanaman hiasdengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.Hati manusia telah menjadi acuh,panser yang angkuh,traktor yang dendam.
Tuhan yang Maha Rahman,ketika air mata menjadi gombal,dan kata-kata menjadi lumpur becek,aku menoleh ke utara dan ke selatan -di manakah Kamu?Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?Di manakah catatan belanja harian?Di manakah peradaban?Ya, Tuhan yang Maha Hakim,harapan kosong, optimisme hampa.Hanya akal sihat dan daya hidupmenjadi peganganku yang nyata.
~ W.S Rendra

Surat Cinta ~ W.S. RendraJanuari 25, 2008

Kutulis surat inikala hujan gerimisbagai bunyi tambur yang gaib,Dan angin mendesahmengeluh dan mendesah,Wahai, dik Narti,aku cinta kepadamu !
Kutulis surat inikala langit menangisdan dua ekor belibisbercintaan dalam kolambagai dua anak nakaljenaka dan manismengibaskan ekorserta menggetarkan bulu-bulunya,Wahai, dik Narti,kupinang kau menjadi istriku !
Kaki-kaki hujan yang runcingmenyentuhkan ujungnya di bumi,Kaki-kaki cinta yang tegasbagai logam berat gemerlapanmenempuh ke mukadan tak kan kunjung diundurkan
Selusin malaikattelah turundi kala hujan gerimisDi muka kaca jendelamereka berkaca dan mencuci rambutnyauntuk ke pestaWahai, dik Nartidengan pakaian pengantin yang anggunbunga-bunga serta keris keramataku ingin membimbingmu ke altaruntuk dikawinkanAku melamarmu,Kau tahu dari dulu:tiada lebih burukdan tiada lebih baikdari yang lain…penyair dari kehidupan sehari-hari,orang yang bermula dari katakata yang bermula darikehidupan, pikir dan rasa
Semangat kehidupan yang kuatbagai berjuta-juta jarum alitmenusuki kulit langit:kantong rejeki dan restu wingitLalu tumpahlah gerimisAngin dan cintamendesah dalam gerimis.Semangat cintaku yang kutabatgai seribu tangan gaibmenyebarkan seribu jaringmenyergap hatimuyang selalu tersenyum padaku
Engkau adalah putri duyungtawanankuPutri duyung dengansuara merdu lembutbagai angin laut,mendesahlah bagiku !Angin mendesahselalu mendesahdengan ratapnya yang merdu.Engkau adalah putri duyungtergolek lemasmengejap-ngejapkan matanya yang indahdalam jaringkuWahai, putri duyung,aku menjaringmuaku melamarmu
Kutulis surat inikala hujan gerimiskerna langitgadis manja dan manismenangis minta mainan.Dua anak lelaki nakalbersenda gurau dalam selokandan langit iri melihatnyaWahai, Dik Nartikuingin dikaumenjadi ibu anak-anakku !
~ W.S Rendra

Bagaimana mungkin kita bernegarabila tidak mampu mempertahankan wilayahnyabagaimana mungkin kita berbangsabila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup bersama ?
Itulah sebabnyakami tidak ikhlasmenyerahkan Bandung kepada tentara Inggrisdan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itusehingga menjadi lautan api
Kini batinku kembali mengenangudara panas yang bergetar dan menggelombang,bau asap, bau keringatsuara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kakilangit berwarna kesumba
Kami berlagamemperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan meratayang bisa dialami dengan nyatamana mungkin itu bisa terjadidi dalam penindasan dan penjajahanmanusia manaakan membiarkan keturunannya hiduptanpa jaminan kepastian?
Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolahhidup yang diperkembangkandan hidup yang dipertahankanitulah sebabnya kami melawan penindasankota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatanbangsa tetap terjaga
Kini aku sudah tuaaku terjaga dari tidurkudi tengah malam di pegununganbau apakah yang tercium olehku?
Apakah ini bau asap medan laga tempo duluyang dibawa oleh mimpi kepadaku?ataukah ini bau limbah pencemaran?
Gemuruh apakah yang aku dengar ini?apakah ini deru perjuangan masa silamdi tanah periangan?ataukah gaduh hidup yang rusuhkarena dikhianati dewa keadilan.Aku terkesiapsukmaku gagapapakah aku dibangunkan oleh mimpi?Apakah aku tersentakoleh satu isyarat kehidupan?Di dalam kesunyian malamaku menyeru-nyeru kamu, putera-puterikuApakah yang terjadi?
Darah teman-temankutelah tumpah di Sukakarsadi Dayeuh Kolotdi Kiara Condongdi setiap jejak medan laga.
Kinikami tersentak,terbangun bersama.putera-puteriku, apakah yang terjadi?apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami?
Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,apakah kita masih sama-sama setiamembela keadilan hidup bersama
Manusia dari setiap angkatan bangsaakan mengalami saat tiba-tiba terjagatersentak dalam kesendirian malam yang sunyiaan menghadapi pertanyaan jaman:apakah yang terjadi?apakah yang telah kamu lakukan?apakah yang sedang kamu lakukan?
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai maknadari jawaban yang kita berikan.
Oleh : W.S. Rendra

Comments

Popular posts from this blog

Daun Tarap Daun Timadang, Saya Harap Jangan Meradang

Tributes to Michael Jackson( 1958-2009) and Farrah Fawcett